Sabtu, Oktober 11, 2008

Basiyo Pelawak Avant Gard

Basiyo, pelawak Dagelan Mataram Yogyakarta, sudah meninggal 1984 lalu. Namun, nama pelawak ini, tetap melekat di hati penggemarnya, hingga kini. Bukan hanya orangtua, namun juga anak-anak muda yang sekerang tinggal di kota besar seperti Jakarta, mengenal Basiyo melalui internet dan teknologi informasi mutakhir. Banyak yang hafal idiom-idiomnya, menyimpan koleksi rekamannya dalam bentuk mp3, mp4 dan sebagainya.

Basiyo bersama beberapa rekannya di RRI Nusantara II Yogyakarta seperti Suparmi Prenjak, Ngabdul, Paiman (dan juga beberapa pelawak dari Departemen Penerangan seperti Hardjo Gepeng, Darsono), dikenal dengan acara rutin bernama Pangkur Jenggleng. Melawak dengan selingan menembang (menyanyikan tembang Jawa) diiringi musik gamelan yang dikreasi secara tidak lazim. Iringan gamelan dan juga tembang yang dilagukan, bisa diputus di tengah jalan, diseling lawakan. Sebagaimana namanya, jenis tembang yang dilagukan hanya khusus "pangkur" (Nyanyian Jawa mengenal notase lagu seperti Pangkur, Kinanti, Pucung, Maskumambang, Dandanggulo, dan lain sebagainya. Jika ingin mendapatkan gambaran bagaimana tembangan Pangkuyr Jenggleng, bisa melihat acara Pangkur Jenggleng yang disirkan di TVRI Stasiun Yogyakarta, setiap Selasa, Jam 19.30, bersama Ngabdul, salah seorang murid Basiyo. Atau download saja di sini nanti, kalau semuanya udah siap).

Kaset lawakan Basiyo, sudah mencapai seratusan judul. Beberapa masterpiecenya yang sangat dikenal para pandemennya: Basiyo Mbecak, Maling Kontrang-kantring, Sampek Engtay, Jaka Bodo, Gatutkaca Gandrung, Basiyo Blantik, Kibir Kejungkir, Dadung Kepuntir. Kebanyakan direkam di studio-studio musik Semarang seperti Borobudur, Fadjar, Irama Mas, di samping ada juga yang direkam oleh Lokananta Sala. Hingga kini, terutama dengan label Fadjar dan Borobudur, kaset rekaman Basiyo masih beredar. Di beberapa toko kaset Malioboro Yogyakarta, masih bisa kita dapati bersama koleksi rekaman seperti wayang kulit, kethoprak, karawitan dan sejenisnya. Dan masih saja laku, serta masih juga diputar, diperdengarkan di balik rumah-rumah tembok mewah dan gubug riuh di desa-desa, lewat radio dan sebagainya. Basiyo melintasi batas usia dan batas kelas masyarakatnya.

Popularitasnya, sebagai kampiun pelawak, mengundang bebereapa tokoh beken di dunia dan jamannya untuk berkolaborasi, seperti Bagong Kussudiardjo (bersama adiknya, Handung Kus Sudyarsana dengan grup kethoprak Sapta Mandala), Ki Narto Sabdo, dan pesinden sohor Nyi Tjondrolukito.



Dalam proses rekamannya, Basiyo sama sekali lebih mengandalkan spontanitasnya. Kerangka cerita, hanya dipaparkan secara lisan, sebelum proses rekaman berlangsung. Tidak ada naskah, tidak ada skenario. Semuanya mengalir.

Model lawakan Dagelan Mataram, diadopsi oleh Raden Ayu Sri Mulat, seorang bangsawati Surakarta yang memiliki jiwa petualang. Sri Mulat, yang kemudian bertemu dan bercinta dengan Teguh, mengajak serta pelawak-pelawak Dagelan Mataram dari Yogyakarta pada Agustus 1950. Beberapa nama yang kondang saat itu, seperti pelawak Bandempo, Ranudikromo, Sarpin, Djuki, Suparni, menjadi tulang punggung Gema Malam Srimulat. Dari sanalah, nama Aneka Ria Srimulat kemudian berkibar. Dan tahunya, model lawakan yang banyak ditiru pendagel di televisi Indonesia itu meniru dagelan Srimulat. Padahal, Teguh dan Sri Mulat sama sekali tidak mengubahnya, baik cara bertutur, setting dan karakter sosialnya. Kalau pun memakai bahasa Indonesia, hal itu juga bukan karena gagasan Teguh, melainkan masuknya pemain-main Lokasari seperti Asmuni dan kawan-kawan (penjelasan almarhum Asmuni kepada Sunardian Wirodono, 2005).

Basiyo, pada hampir semua lakon-lakonnya, selaku berperan sebagai seorang yang ber-"perilaku menyimpang", antagonis, a-sosial. Jika menjadi orang kaya, ia orang kaya yang pelit, tetapi suka memamerkan kekayaannya. Kalau jadi orangtua, pastilah bukan ayah yang baik, karena ia bisa "berebut perempuan" dengan anaknya. Atau, kalau pun ia jadi orang miskin, ia akan jadi orang miskin yang fatalis. Ia bukan hanya akan menceriterakan paradoks orang kaya, melainkan bagaimana penderitaannya sebagai orang miskin dipermainkan oleh orang kaya. Atau, misalkan ia menjadi tukang becak, ia akan menjadi tukang becak yang cerdas, karena ia menangkap pola komunikasi orang lain dengan menerjemahkan semua idiom lawan secara verbal. Jadinya, bisa kacau-balau karena tidak lazim.

Kecenderungan lain, yang menampakkan materi dagelannya menjadi jujur, tidak mengada-ada, ialah karena kemampuannya menertawakan dirinya sendiri. Ia bukan pelawak yang percaya bahwa kelucuan dibangun dengan menghina kelemahan orang atau cacat orang lain. Menertawakan diri-sendiri, wujud dari kematangan Basiyo sebagai pelawak. Karena itu, lawakannya diam-diam membuat kita menjadi lebih dewasa dan arif menghadapi penderitaan. Sebagaimana Charlie Chaplin, pelawak yang baik selalu mengajari kemanusiaan kita untuk menjadi lebih matang.

Masih terus akan dikembangkan oleh:
Sunardian Wirodono, 2008